Hubungan Kearifan
Lokal
dan Kebudayaan
Suku Sunda
Pendekatan Kearifan Lokal
Pengertian Kearifan Lokal dilihat dari kamus Inggris Indonesia, terdiri
dari 2 kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Local berarti setempat
dan wisdom sama dengan kebijaksanaan. Dengan kata lain maka local
wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai, pandangan-pandangan
setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai
baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Pendekatan Kearifan lokal adalah penggunaan metoda-metoda yang berasal dari
nilai-nilai kebijaksanaan masyarakat lokal (terutama dari nilai-nilai budaya
Sunda dulu) dalam menangani masalah lingkungan di lingkungannya.
Kearifan Lokal Sunda
Nilai-nilai budaya Sunda tua diperoleh dari suku Baduy Dalam, Kampung Naga
dan desa-desa adat lainnya di daerah Sunda, yang diturunkan secara lisan dari
orang-orang tua ke generasi dibawahnya, beserta prasasti-prasasti yang masih
ada. Menurut orang-orang tua mereka diberi tahu bahwa ilmu mengenai tata ruang
wilayah dibuat pada abad 8 dan sudah dituliskan, pada abad ke 14,
kitab-kitab tersebut dibawa oleh penjajah (Belanda dan Portugis) untuk
kepentingan mereka. Kepentingan mereka adalah kepentingan ekonomi dengan merubah
tatanan ruang di Indonesia, seperti halnya perkebunan teh dll.
Bahasa SUNDA berasal dari SUN DA HA, yang mengandung arti SUN
adalah Diri, DA adalah Alam dan HA adalah Tuhan. Artinya
kearifan lokal dapat digambarkan dengan mengidentifikasi tiga ranah (domain) tempat
kearifan lokal itu berlaku. Ranah pertama adalah DIRI, yaitu hubungan antara
manusia dengan manusia; kedua, ALAM, yaitu hubungan manusia dengan alam; dan
ketiga TUHAN, hubungan manusia dengan Tuhan atau Sang Pencipta.
SUN, yang merupakan Diri, terwujud dalam hubungan pribadi dengan pribadi,
pribadi dengan komunitas. Beberapa nilai-nilai kearifan lokal:
– Hade ku omong, goreng ku omong (segala
hal sebaiknya dibicarakan) Keterbukaan dalam hubungan
pribadi
sebaiknya dibicarakan.
– Undur katingali punduk datang katingali tarang (pergi tampak tengkuk datang tampak
pelipis)
Perilaku
kita sebagai anggota komunitas harus diketahui oleh anggota komunitas lain.
– Someah hade ka semah (Ramah dan baik
terhadap tamu)
– Mun aya angin bula bali ulah muntang kana
kiara, muntang mah ka sadagori (kalau
ada angin putting beliung, jangan berpegang kepada pohon beringin tetapi pada
rumput sadagori) Rumput
sadagori adalah tanaman kecil atau rumput dengan akar yang sangat kuat, yang
diungkapkan sebagai rakyat kecil.
DA, yang merupakan hubungan manusia dengan alam dengan
jelas diperlihatkan oleh komunitas adat Sunda, misalnya komunitas Baduy, Pancer
Pangawinan, Kampung Naga, dan sebagainya. Dasar dalam melakukan cinta terhadap
alam diungkap dalam ungkapan Suci Ing Pamrih Rancage Gawe .
Antara manusia dan alam adalah bagian yang menyatu tidak
terpisah. Masyarakat adat beranggapan bahwa mereka hidup “bersama” alam,
dan bukan “di” alam seperti sikap kebanyakan anggota masyarakat modern. Oleh
karena itu, masyarakat tradisional memiliki solidaritas yang lebih kuat dengan
alam. Kegiatan terhadap alam terlihat pada ungkapan “Leuweung ruksak, cai
beak, ra’yat balangsak ” (Hutan rusak, air habis, rakyat sengsara),
atau “Leuweung kaian, gawir awian, legok balongan ” (Hutan tanami
kayu, tebing tanami bambu, palung jadikan kolam).
HA, yang merupakan hubungan manusia dengan Tuhan tidak
semata-mata diungkapkan dalam perilaku komunitas-komunitas itu, melainkan juga
dalam ungkapan, seperti yang kita baca dalam buku Sang Hiang Siksa
Kanda Ng Karesian (Terbit abad XVI), yaitu Tapa di nagara (Bertapa
di tengah-tengah kehidupan sehari-hari). Bagi anggota komunitas tradisional,
hidup itu sendiri adalah bertapa (ibadah). Hidup adalah menyucikan diri agar
layak berhadapan dengan Tuhan Yang Maha suci.
Penggabungan terhadap ranah-ranah tersebut adalah Menyakini bentuk ibadah
yang tertinggi dan rasa syukurnya kepada Sang pencipta adalah berupa :
kebersamaan untuk menjaga alam, dan memelihara pohon.
ada istilah Sunda: Silih Asih, Silih Asah dan Silih
Asuh , yang artinya adalah dalam melakukan pemulihan harus dengan rasa
cinta kasih terhada alam, yang kemudian bagaimana kita mengasah kepekaan alam
dengan terus belajar kepada alam sehingga kita bisa menentukan bagaimana kita
hidup di alam. Apabila kita bisa melakukan pepatah Sunda ini hasilnya
adalah Silih Wawangi , artinya bahwa hasilnya akan memberikan
manfaat yang optimal terhadap masyarakat, tidak hanya kepada diri pribadi
tetapi juga terhadap masyarakat banyak dan alam itu sendiri.